NOAHS WISH — Yogyakarta – Sosiolog UGM Andreas Budi Widyanta, memberikan penilaian fenomena ini judi online yang juga mengenai para penerima bantuan sosial, tidak dapat semena-mena untuk disalahkan. Karena menurutnya para penerima bansos terjerat judol merupakan korban dari spiral kekerasan negara.
“Ini bukan soal moralitas individu semata, tapi soal absennya negara dalam memberi perlindungan dan literasi digital pada warganya,” ujarnya di Kampus UGM, Kamis 10 Juli 2025.
Fenomena keterlibatan warga miskin dalam judol ini menurutnya melihatnya dari dua persoalan besar yaituketidaktepatan data bansos dan ketidaksiapan masyarakat soal literasi digital. Menurutnya, data penerima bansos kerap kali tidak akurat dan digunakan sebagai alat politik, terutama menjelang pemilu.
HomeRegionalJawa Tengah – DIY
Penerima Bansos Terlibat Judol, Sosiolog UGM: Masyarakat Korban dan Tak Asal Disalahkan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan bahwa lebih dari setengah juta penerima bansos atau bantuan sosial tercatat bermain judi online (judol) memunculkan kegelisahan publik.
Yanuar H
Oleh
Yanuar H
Diperbarui 21 Jul 2025, 23:00 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2025, 23:00 WIB
0 Komentar
Share
Copy Link
Batalkan
Ilustrasi penerima Bansos (Istimewa)
Perbesar
Ilustrasi penerima Bansos (Istimewa)
Liputan6.com, Yogyakarta – Sosiolog UGM Andreas Budi Widyanta, memberikan penilaian fenomena ini judi online yang juga mengenai para penerima bantuan sosial, tidak dapat semena-mena untuk disalahkan. Karena menurutnya para penerima bansos terjerat judol merupakan korban dari spiral kekerasan negara.
“Ini bukan soal moralitas individu semata, tapi soal absennya negara dalam memberi perlindungan dan literasi digital pada warganya,” ujarnya di Kampus UGM, Kamis 10 Juli 2025.
BACA JUGA:
Kemensos Evaluasi 603.999 Rekening Penerima Bansos yang Terlibat Judi Online
Fenomena keterlibatan warga miskin dalam judol ini menurutnya melihatnya dari dua persoalan besar yaituketidaktepatan data bansos dan ketidaksiapan masyarakat soal literasi digital. Menurutnya, data penerima bansos kerap kali tidak akurat dan digunakan sebagai alat politik, terutama menjelang pemilu.
Advertisement
“Penerima bansos hanyalah bagian kecil dari warga yang terjerat judi online. Ini fenomena masyarakat digital yang tidak pernah disiapkan secara literasi. Negara absen memberi penyadaran,” katanya.
Widyanta menyoroti peran negara yang justru dinilai lalai, bahkan terlibat dalam pembiaran. Ia pun juga keras mengkritik Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI yang dinilai tidak menjalankan fungsinya untuk melindungi publik dari praktik judi online yang tidak dapat dilepaskan dari tarik ulur kepentingan politik dan ekonomi.
“Negara membiarkan bahkan memfasilitasi praktik judi online yang jelas-jelas merugikan rakyat. Seharusnya negara melindungi, bukan mengeksploitasi,” tegasnya.
Dampak Judol dalam Perspektif Sosiologi
Menurutnya dampaknya, sangat luas termasuk kasus kekerasan yang bermula dari judi online, lalu berlanjut pada pinjaman online, hingga mendorong masyarakat melakukan tindakan ekstrim seperti menjual aset atau bahkan kekerasan demi melunasi utang. Menanggapi hal ini, ia menekankan bahwa solusi tidak cukup hanya dalam bentuk penindakan.
Menurutnya, negara harus melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan. Selain itu, masyarakat juga perlu diberdayakan secara sosial dan ekonomi agar tidak hanya menjadi penerima bantuan, tapi juga mandiri.
“Jangan jadikan bansos sebagai alat menciptakan ketergantungan. Harus ada pendampingan dan pemberdayaan agar masyarakat bisa bangkit, punya usaha, dan tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketergantungan,” jelasnya.
Menurutnya penerima bansos yang terlibat judol dari kelompok warga miskin bukanlah pelaku utama dalam masalah ini, melainkan korban dari sistem yang tidak berpihak.
“Jangan salahkan mereka. Yang perlu dituntut pertanggungjawabannya adalah negara yang gagal melindungi,” ujarnya.