NOAHS WISH — Jakarta – Pagi itu, di Jalan Poltangan Raya udara masih segar. Novriansyah bersiap memulai rutinitas joging dari arah Poltangan menuju TB Simatupang, kadang sampai ke Condet. Rute ini ia tempuh setiap hari, dari pukul 06:00 WIB hingga delapan pagi, demi menjaga kebugaran tubuhnya.
Tapi, di antara langkah-langkah kakinya, ada kekhawatiran yang menghantui. Betapa tidak, di beberapa titik trotoar hanya selebar 70 sentimeter. Terlalu kecil untuk berselisih dengan pejalan lain.
Harus gantian dengan pejalan lain jadi enggak bisa papasan. Meleng dikit bisa ketabrak dengan pengendara lain,” kata dia saat ditemui, Rabu (4/6/2025).
Lebih dari sekali, Novri harus turun ke jalan raya, karena trotoar tak memadai. “Beberapa kali harus pakai bahu jalan karena trotoar tak menunjang. Di sana ada tempat pemberhentian Bus, nah mereka yang nunggu kebanyakan itu sampai ke bahu jalan,” ucap dia.
Ia juga kerap menemukan kabel proyek menjuntai di depan mata.
Di tempat lain, potret trotoar tak kalah memprihatinkan. Di sepanjang Jalan Raya Pasar Minggu, deret pedagang musiman ketupat menggelar lapak di atas trotoar, memakan seluruh badan trotoar. Jalur yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki, malah dialihfungsikan.
Trotoar di sana pun sudah rusak seperti permukaannya terkelupas dan konturnya naik turun.
Di kawasan Senopati dan Blok M, fungsi trotoar tergerus pelan-pelan. Sepeda motor diparkir sembarangan hingga menjajah badan trotoar.
Pemandangan Gerobak dan Tenda Pedagang
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5242737/original/009471800_1749041190-IMG_1601.jpeg)
Di beberapa tempat, tukang duduk santai sambil bermain ponsel, menjaga kendaraan. Saat kemacetan tak tertahankan, pemotor tak ragu naik ke trotoar. Di Senopati, pemandangan gerobak dan tenda pedagang kaki lima sudah dianggap lumrah oleh sebagian warga.
Adam Saputra, pekerja rumah sakit yang tinggal di kawasan Pondok Indah, punya penilaian yang serupa. “Sebenarnya trotoar di Jakarta itu bagus semua, tapi enggak menyeluruh,” ujar Adam.
Adam mengamati trotoar di daerahnya. Menurutnya, kurang begitu proper untuk pejalan kaki, karena beralih fungsi. Adam juga sering terganggu oleh pengendara motor yang tiba-tiba menyelonong dari belakang saat ia berjalan.
“Ada tukang parkir, pedagang kaki lima. Untuk kita pejalan kaki jadi enggak aman,” ucap dia.
Dia melihat kesenjangan infrastruktur antara di Jakarta Selatan dengan Jakarta Pusat. Menurut pandangannya, Jakarta Pusat sebagai contoh kawasan yang trotoarnya “proper banget”, dibanding Jakarta Selatan yang masih kalah infrastruktur dan pengawasan.
“Perbandingan sangat signifikan untuk orang aman daerah pusat karena proper banget. Daerah selatan dan timur enggak begitu proper dan aman. Dari segi trotoar, banyak mengalihfungsikan entah pedagang atau parkir liar,” ucap dia.
Namun, Adam mengapresiasi sejumlah titik yang sudah mulai ramah bagi penyandang disabilitas. “Menurut saya sudah aman aman aja, ada tanda kuning-kuning,” ucap dia.
Dia mengusulkan Pemerintah Provinsi DKI untuk memperluas dan memperbaiki trotoar secara menyeluruh.
“Saran saya memperluas trotoar yang sangat proper, harus merata, balik lagi enggak semua orang punya kendaraan, bisa naik transportasi umum. Kalau trotoarnya enggak bagus kita juga bingung,” ucap dia.
Trotoar Berubah Fungsi
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5242738/original/088978100_1749041191-IMG_1599.jpeg)
Di Puri Kembangan, Jakarta Barat, Rifai juga mengamati hal serupa. Trotoar lebar dan ramah pejalan kaki berubah fungsi menjadi tempat berdagang.
“Iya di Puri kadang dipakai buat dagang, banyak sih. Saya lebih ditegaskan lagi perihal pelanggaran kayak gitu. Yang butuh juga banyak, di tempat ramai pengguna jalan kaki harus ada pembenahan,” ucap dia.
Sementara Murdi, perantau asal Magelang, membandingkan Jakarta dengan kampung halamannya.
“Magelang jauh dari Jakarta. Asongan enggak boleh, coba tengok di Tidar Magelang. Kalau dia mau jualan di pinggir harus permanen. Enggak ada yang gerobak. Saya apresiasi Magelang,” ucap dia.
Ia menilai pengawasan di Jakarta lemah. “Pengawasan sama perbaiki mental, seenggaknya setara sama Magelang,” ucap dia.
Kepala Satpol PP DKI Jakarta Satriadi Gunawan mengatakan, petugas Satpol memang rutin patroli dan melakukan penertiban, tetapi pengawasan belum bisa menyentuh seluruh titik kota, keterbatasan sumber daya manusia menjadi kendala utama.
“SDM kita terbatas. Kalau harus jaga 24 jam, ya keteteran,” kata Satriadi.
Masalah lain, setiap kali petugas lengah, para pedagang kembali. Fenomena ‘kucing-kucingan’ ini sudah menjadi pola umum. Satriadi tak ingin represif. Ia lebih memilih pendekatan humanis. Pedagang yang melanggar diberi peringatan satu sampai dua kali. Jika membandel, barulah ditertibkan.
“Kita pasti larang untuk mereka berjualan di atas trotoar. Kita peringatan sebelumnya sekali dua kali namun dia masih melakukan itu juga maka kita lakukan tindakan untuk menertibkan mengembalikan fungsinya kembali setelah itu kan kita awasi,” ujar dia.
Dilema Penegakkan Fungsi Trotoar
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5242739/original/068617800_1749041193-IMG_1609.jpeg)
Dilema antara menegakkan fungsi trotoar dan melindungi sumber nafkah warga membuat berfikir dua kali untuk mengedepankan represifitas. Karena ini bukan sekadar pelanggaran Perda, tetapi juga persoalan sosial dan ekonomi.
“Kadang-kadang memang di satu sisi mereka mencari nafkah, tapi di sisi lain kan mereka juga tidak boleh mengganggu kepentingan umum,” ucap dia.
“Itulah yang jadi satu dilema apalagi sekarang banyak PHK. Satpol sebagai penegak Perda, tapi mungkin lebih ke humanis. Makanya sebenarnya permasalahan itu harus holistik, menyeluruh,” dia menandaskan.
Pun demikian dengan, Kepala Bidang Kelengkapan Jalan Dinas Bina Marga DKI, Hananto menambahkan, trotoar yang ideal adalah jalur pejalan kaki yang lengkap, aman, nyaman, inklusif dan mampu mendukung peningkatan penggunaan transportasi publik.
Sejak tahun 2016, Dinas Bina Marga DKI Jakarta membangun dan meningkatkan trotoar dengan konsep complete street. Konsep ini didesain agar ramah terhadap semua pengguna jalan, termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.
Hingga akhir 2024, panjang trotoar yang telah dibangun atau ditingkatkan mencapai sekitar 427 kilometer. Jumlah itu mewakili 6,64 persen dari total panjang jalan di Jakarta.
“Dinas Bina Marga berkomitmen untuk terus melanjutkan progres pembangunan ini di tahun-tahun mendatang,” ujar dia.
Kendala Kerusakan Trotoar
Di lapangan, kata dia, kerusakan fisik trotoar masih menjadi kendala. Untuk itu, Dinas Bina Marga memastikan akan melakukan perbaikan terhadap trotoar yang mengalami kerusakan.
Sementara itu, pemeliharaan harian seperti perbaikan lapisan trotoar, kansteen, atau tutup saluran yang pecah, menjadi kegiatan rutin yang ditangani oleh Satuan Tugas Pemeliharaan Kelengkapan Jalan Dinas Bina Marga.
Namun soal menjaga fungsi trotoar tak bisa dikerjakan sendirian. Sejak tahap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, Dinas Bina Marga telah menjalin sinergi dengan Dinas Perhubungan dan Satuan Polisi Pamong Praja.
“Koordinasi ini dilakukan untuk menertibkan area trotoar dari aktivitas atau bangunan yang tidak sesuai, seperti parkir liar, warung liar, tiang reklame tanpa izin, dan Pedagang Kaki Lima (PKL),” ucap dia.
Selain itu, dari Satpol PP juga memiliki program Bulan Tertib Trotoar. Dalam program ini, Satpol PP bersinergi dengan stakeholder terkait seperti TNI, Polri, Dinas Sosial, Dinas Perhubungan, dan Dinas Bina Marga.
“Program ini merupakan bentuk penegakan Perda Nomor 8 Tahun 2007 yang bertujuan untuk mengembalikan hak pejalan kaki yang sering terganggu oleh penggunaan trotoar untuk kepentingan lain, seperti pangkalan ojek atau tempat berjualan,” ucap dia.